Senin, 21 Desember 2009

Akal Usil Glodok

Pertanyaannya begitu menyengat. “Mau PIN BlackBerry cantik nggak?” Saya melongo mendengar pertanyaan itu. “Ha, PIN cantik? Bagaimana bisa?”

“Bisalah!” lelaki itu menyergah. “PIN (nomor identifikasi) BlackBerry yang ruwet bisa disulap jadi cantik.” Jadi, bila awalnya PIN itu bernomor B4FF4258, misalnya, bisa “dipermak” menjadi BURHAN01.O lala. Betapa mudahnya menghafalkan PIN cantik.

Belum selesai saya memikirkan kira-kira PIN cantik apa yang saya pilih, lelaki itu sudah menyodorkan tawaran lain. “Harganya murah kok, cuma Rp 4,5 juta.”

“Memang bisa?”
“Apa yang tak bisa dilakukan di Glodok?” tanyanya lagi.

Memasuki Glodok, Jakarta, memang seperti memasuki dunia yang penuh akal usil. Di kawasan Pecinan itu tak hanya ada berderet-deret barang elektronik berbagai merek. Di lorong-lorong sempit di Glodok juga tersimpan akal-akal pintar.

Mari buka buku sejarah penjualan ponsel di Indonesia. Beberapa tahun silam, Fren menggebrak pasar dengan ponsel murah yang berdesain lembut. Ponsel itu dikunci sehingga hanya bisa memakai jaringan Fren, yang tarifnya semahal tarif GSM.

Dari sudut-sudut gelap di pertokoan Glodok itulah kemudian mengalir akal bulus. Kunci ponsel Fren ini dibuka. Ponsel bisa dipakai untuk jaringan lain, seperti Esia, yang bertarif lebih murah.

Peminatnya membludak. Glodok pun tiba-tiba kebanjiran bisnis unlock ponsel. Ponsel apa saja bisa dibuka kuncinya, tak terkecuali ponsel mahal sekelas iPhone, PDA, atau BlackBerry.

Akal usil yang membanggakan tapi juga membuat sedih. Yang bikin sedih adalah Glodok cuma berhenti pada kepingan bisnis membuka ponsel atau membuat DVD bajakan. Mereka seperti tak pernah mau berjalan lebih jauh, yakni menuju hulu akal usil: KREATIF.

Pedagang-pedagang di Glodok sepertinya sudah cukup puas dengan hanya menjadi pedagang. Amat jarang pedagang-pedagang di sana punya keberanian mengumpulkan kepingan-kepingan akal usil lalu merajutnya sehingga menjadi sebuah penemuan yang hebat.

Mengapa Glodok tak bisa menjadi Taiwan? Taiwan pada mulanya ditopang oleh sekumpulan para penjiplak. Mereka meniru produk apa saja, dari sandal, radio, sepeda motor, hingga komputer. Tapi para pedagang di negeri seupil itu tak puas hanya jadi peniru. Mereka juga ingin menjadi penemu.

Orang-orang pintar seperti Stan Shih mendirikan Acer. Lalu ada Nyonya Cher Wang, yang merintis pabrik komputer genggam (PDA) HTC. Mereka dulu bukan siapa-siapa. Dulu mereka hanya menjadi “penjahit” untuk komputer atau PDA buatan Amerika Serikat, seperti Hewlett Packard atau Dell.

Yang terjadi kemudian adalah sekelompok peniru dan “penjahit” komputer dari Taiwan ini bangkit. Lalu industri prosesor dan komputer di Taiwan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Ada ASUS, Gigabyte, MSI, Axioo, dan sederet nama yang mungkin tak terlalu dikenal oleh pembeli komputer di sini.

Lihatlah Taiwan–juga Cina–kini. Merekalah raja komputer sesungguhnya di dunia ini. Dari 10 merek besar komputer di dunia, delapan di antaranya berasal dari Taiwan. Bahkan perusahaan seperti Acer pun mencaplok perusahaan komputer Amerika, seperti Getaway. IBM juga takluk kepada perusahaan tetangga Taiwan, Lenovo dari Cina daratan.

Sayangnya, pedagang-pedagang Glodok tidak seperti pedagang Taiwan. Keusilan mereka mandek pada level pedagang. Bukan penemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar